Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan cenderung menguat hingga akhir 2024 di tengah berbagai sentimen baik dari dalam maupun luar negeri.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah terpantau mengalami penguatan secara signifikan selama tujuh hari beruntun atau tepatnya sejak 31 Juli 2024.
Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (9/8/2024), rupiah ditutup melemah 0,19% ke angka Rp15.920/US$. Pelemahan ini adalah yang pertama dalam tujuh hari terakhir.
Kendati melemah akhir pekan lalu, dalam sepekan rupiah terbang 1,7%. Penguatan ini memperpanjang tren positif rupiah yang juga menguat hampir 0,6% pada pekan sebelumnya.
Setidaknya terdapat tiga hal utama yang membuat rupiah akhirnya dapat bergerak dengan sangat perkasa.
Dari luar negeri khususnya AS, terpantau muncul potensi resesi di AS yang sempat berhembus pada akhir pekan lalu. Hal ini berdampak pada ambruknya indeks dolar AS (DXY) dan menjadi angin segar bagi rupiah untuk kembali menguat hingga di bawah level psikologis Rp16.000/US$.
Probabilitas terjadinya resesi di AS semakin mencuat setelah indikator Sahm mengalami kenaikan.
Merujuk Sahm Recession Indicator, risiko resesi muncul ketika rata-rata tingkat pengangguran dalam tiga bulan terakhir dikurangi dengan tingkat pengangguran terendah dalam setahun terakhir menghasilkan angka 0,50 poin persentase.
Rata-rata laju pengangguran AS dalam tiga bulan terakhir (Mei, Juni, dan Juli) tercatat sebesar 4,13% (4% pada Mei 2024, 4,1% pada Juni 2024, dan 4,3% pada Juli 2024. Sementara pada Juli 2023 sebesar 3,6%. Sebagai catatan, tingkat pengangguran pada Juli 2023 adalah yang terendah dalam setahun terakhir.
Hasil hitungan menunjukkan Sahm Rule Indicator pada Juli 2024 menunjukkan sebesar 0,53 poin persentase.
Pada saat itu, ekspektasi pasar untuk terjadi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) dalam Federal Open Meeting Committee (FOMC) September 2024 pun semakin mencuat.
Bahkan berdasarkan survei CME FedWatch Tool, menunjukkan bahwa pelaku pasar berekspektasi terjadi pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin (bps).
Hal ini yang pada akhirnya membuat DXY semakin terpuruk bahkan sempat menyentuh level 102,67 pada 5 Agustus 2024 yang merupakan titik terendah sejak 15 Januari 2024 atau sekitar tujuh bulan terakhir.
Tidak hanya pengaruh AS, carry trade yang terjadi pada yen Jepang juga berpengaruh signifikan.
Head of Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro mengatakan bahwa di tengah aliran asing yang terbatas ke ekuitas dan obligasi, terlihat ini sebagai reaksi terhadap penguatan ekstrem yen, yang menguat 10% dalam sebulan setelah Bank of Japan menaikkan suku bunganya. Hal ini berujung pada rupiah yang mengalami penguatan.
Ia juga menyampaikan bahwa yen Jepang menyumbang 12% dari keranjang nilai tukar nominal efektif (NEER) rupiah, atau yang terbesar kedua setelah yuan China. Dengan kata lain, yen Jepang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fluktuasi rupiah. Bahkan lebih dari Euro, dolar AS, atau dolar Singapura mengingat perdagangan besar Indonesia dengan Jepang.
Model yang ia lakukan menunjukkan bahwa rupiah saat ini 2% lebih tinggi dinilai lebih tinggi (overvalued) berdasarkan NEER-nya, dengan nilai wajar sekitar Rp16.221/US$.
Sedangkan dari sisi domestik, rilis data dari Bank Indonesia (BI) perihal cadangan devisa (cadev) Indonesia periode Juli 2024 disambut positif oleh pelaku pasar.
Tercatat per Juli 2024, cadev RI berada di angka US$145,4 miliar atau naik US$5,2 miliar dibandingkan periode sebelumnya.
“Kenaikan posisi cadangan devisa tersebut terutama dipengaruhi oleh penerbitan sukuk global pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa,” tulis BI dalam siaran pers, Rabu (7/8/2024)
Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2024 setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Dengan semakin gemuknya cadev, maka ruang bagi BI untuk melakukan intervensi untuk menstabilkan mata uang Garuda akan semakin besar.
Proyeksi Nilai Tukar Rupiah Akhir 2024
Dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed di semester II-2024 ini, mayoritas ekonom memproyeksikan bahwa rupiah cenderung akan menguat di akhir 2024 nanti.
Presiden Direktur Samuel Aset Manajemen, Agus Basuki Yanuar menyampaikan bahwa baseline USD/IDR hingga akhir tahun yakni di level Rp16.100/US$ dengan trading range Rp15.700-Rp16.200/US$.
Hal ini ia perkirakan karena pada akhir tahun masih ada kebutuhan dolar AS untuk membayar utang jatuh tempo dan impor minyak untuk inventory perihal kebutuhan Natal dan Tahun Baru (Nataru).
“Rupiah bisa lebih kuat dari Rp16.100/US$ pada akhir tahun apabila susunan kabinet, terutama pada pos-pos ekonomi, dipersepsikan baik dan memberi harapan, sehingga memicu investor asing yang sepanjang April Mei Juni keluar akan masuk lagi secara deras membeli aset-aset finansial Indonesia. Kedua yakni The Fed confirm memangkas bunga 2x. Ketiga jika DXY turun mendekati level 100,” kata Agus kepada CNBC Indonesia.
Sedangkan Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menyampaikan bahwa pasar saat ini cenderung wait and see akan hasil rapat The Fed yang membuat pergerakan rupiah masih akan volatil.
“Jika The Fed benar-benar terjadi cut rate di September, maka kemungkinan rupiah bisa menguat lebih cepat dan ada kemungkinan stabil lebih kuat lagi,” papar Myrdal, kepada CNBC Indonesia.
Ia bahkan memperkirakan jika The Fed memangkas suku bunga lebih dari satu kali, maka rupiah dapat ditutup di kisaran Rp15.650an/US$.
UOB Global Economics & Market Research memproyeksikan pada kuartal III-2024, rupiah akan berada di angka Rp16.100/US$ dan di akhir kuartal IV-2024 diekspektasikan menjadi Rp15.900/US$.
Sementara Mandiri Sekuritas (Mansek) dan Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) mengestimasikan bahwa hingga akhir tahun rupiah berada di level psikologis Rp16.000/US$.
Begitu pula dengan Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang yang menyampaikan dalam waktu dekat rupiah berada dalam rentang Rp15.900-Rp16.000/US$ dan pada akhir tahun dapat menguat di sekitar Rp15.800an/US$.
“Saat ini hal yang perlu diantisipasi yakni dampak carry trade yang masih mungkin terjadi,” ujar Hosianna, kepada CNBC Indonesia.
Sedikit berbeda dengan ekonom lainnya, Bank Central Asia (BCA) justru memperkirakan rupiah sampai akhir tahun di sekitar Rp16.172/US$ dengan plus minus Rp300. Atau dengan kata lain berada dalam rentang yang cukup lebar yakni Rp15.872-Rp16.472/US$.
Begitu pula dengan Bank Indonesia (BI) yang mengungkapkan bahwa nilai tukar rupiah cenderung akan terus menguat dalam waktu dekat.
“Ke depan, nilai tukar rupiah diprakirakan bergerak stabil dalam kecenderungan menguat,” ucap Gubernur BI, Perry Warjiyo saat konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Potensi penurunan suku bunga The Fed ini akan membuat aliran modal asing kembali menuju ke pasar ekonomi berkembang, sehingga bisa memperkuat pasokan dolar di dalam negeri.
“Kalau seperti itu, membuka peluang rupiah akan lebih menguat, kan. Akan lebih stabil setidaknya, dengan probabilitas Fed Fund Rate yang lebih maju,” ucap Perry.