Bank Indonesia (BI) memperkirakan pemerintah Amerika Serikat (AS) akan menarik utang lebih banyak ke depannya seiring dengan pelebaran defisit fiskal. Hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap Indonesia.
“Ini perkiraan-perkiraan kami defisit fiskalnya tahun depan bisa bengkak ke 7,7% dari PDB perkiraan sebelumnya hanya 6,5% untuk dorong ekonomi domestiknya,” ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Rabu (20/11/2024)
Hal ini akan mendorong kenaikan yield US Treasury (UST). Perry mengungkapkan yield UST dengan tenor 2 tahun sebelumnya 3,7% kini sudah menjadi 4,3% dan diperkirakan bisa mencapai 4,5% pada 2025.
“UST 10 tahun tempo hari sudah turun sekarang sudah naik ke 4,4% tahun depan ke 4,7% karena memang kebijakan fiskal yang ekspansif,” terangnya.
Situasi tersebut akan mendorong investor kembali ke AS. Padahal beberapa bulan sebelumnya aliran modal sudah mulai mengalir ke negara berkembang seperti Indonesia.
“Karena investasi portofolio ke AS kan US$ tinggi sehingga kembali ke sana dan buat dolar menguat,” ujarnya. Penguatan dolar akan memukul mata uang banyak negara, termasuk rupiah.
Melansir data Refinitiv, pada penutupan Rabu (20/11/2024) rupiah merosot dan turun hingga 0,22% berada di level Rp15.860/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.870/US$ hingga Rp15.820/US$.