
Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid berpendapat instrumen hukum amnesti dan abolisi merupakan alat konstitusional presiden untuk memberikan pengampunan.
Menurutnya, kedua alat konstitusional amnesti dan abolisi harus dipandang sebagai salah satu hak konstitusional setiap terpidana.
“Secara terminologi, hal ini dalam rangka penegakan, pemenuhan keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia,” ujar Fachri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Sementara secara filosofis dan teoritis, kata dia, keberadaan lembaga amnesti dan abolisi secara eksplisit dikonstruksikan oleh norma dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kemudian secara tradisional, dirinya menilai pranata atau kekuasaan presiden untuk memberi pengampunan telah dilembagakan dalam berbagai sistem pemerintahan.
Dikatakan bahwa hal tersebut berasal dari tradisi dalam sistem monarki Inggris di mana raja dianggap sebagai sumber keadilan sehingga kepadanya diberikan kewenangan itu.
Ia menjelaskan hal itu dikenal sebagai hak prerogatif eksekutif (executive prerogative) dalam bentuk hak untuk memberi pengampunan kepada warganya yang telah dijatuhi pidana, sehingga prinsip tersebut telah berangkat dari basis filosofis dan sosiologis yang kokoh.
Untuk itu terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Tom Lembong dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Fahri menilai hal tersebut berpijak serta berbasis pada prinsip kepentingan publik yang objektif dan mendalam, yang telah mencakup dimensi stabilitas nasional serta pencegahan perpecahan di dalam masyarakat.